Selasa, 17 Mac 2009

Pangkal Chuit Bahagian Dua

PANGKAL CHUIT [ii]

Desa kerdil yang lengang: di sinilah ku pijak basah tanah,
kering embun di rerumput, celahan pepohon getah,
menyusur bendang, sambil merendam jiwa di riak air yang risau, menyimpulkan masa kanak-kanak tak lebih dari selarik sajak tentang setumpuk kenangan tiga dekad silam.

Pangkal Chuit yang rangup dalam ingatan; Cuacanya lebih bersinar dari mata si dara sunti, tetap menjadi bayangan indah di air keruh. Di sinilah aku mendendangkan lagu-lagu Qasidah kehidupan, menyalami hutan kecil sambil mengirim ledakan peluru biji senduduk dan buah cenerai. Dan aku tumbuh lebih subur di batas ubi kayu, dengan kegelisahan yang dihanyutkan hujan ke bibir baruh.

Pangkal Chuit: Dusun indah itu kini menghantui urat dan nadi, bagai musim kemarau menghampar keresahan. Segalanya telah terasing dengan penuh keterasingan: akulah warga asal yang terasing di bumi sendiri. Yang tinggal cumalah pusara sepi arwah ayah,Bersemadi lestari di kubur ujib dalam diam memanjang, Hinggakan aku terlupa mencari jejak nisannya
Yang ku jumpa cumalah wajah~wajah asing mengerling sinis

Pangkal Chuit, dusun riuh yang bisu dalam jiwaku, tetap saja sebuah kenangan. Aku hanya mengira masa kecil lebih indah dari puisi. Rahasia buah makna, ternyata lebih bermakna dari sunyi. Dan aku hanya ingin terus mengenang. Karena sesuatu yang pasti ternyata: tak mampu aku cari dan tak mungkin dapat aku temui.

Shek Tasikan Yusoff
18 Oktober, '99
Radio Satu,
Bukit Angkasa, Kuala Lumpur

Tiada ulasan: